Prinsip persamaan di hadapan hukum dan pernyataan bahwa Indonesia sebagai negara hukum seperti ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Re-publik Indonesia Tahun 1945 menunjukkan bahwa hak atas bantuan hukum adalah hak konstitusional. Sehingga dengan lahirnya Undang-Undang Ban-tuan Hukum bermakna penting bagi perkembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia dan sekaligus aktualisasi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Aturan
mengenai bantuan hukum belum berdiri sendiri dan penjabaran mengenai mekanisme
tata cara penyeleng-garaannya masih dalam bentuk peraturan pemerintah dan/atau
surat keputusan menteri. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum, telah menunjukan suatu kekhususan, yang menitik beratkan Pemberian
Bantu-an Hukum dilakukan melalui suatu kelembagaan/organisasi yang harus
berbentuk badan hukum. Kelembagaan Pemberi Bantuan Hukum dalam pelaksanaannya
kegiatan Bantuan Hukum diklasifikasikan dalam akreditasi A, B dan C dalam
penerimaan dan penyaluran dana oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
sekaligus sebagai Pengawas dari seluruh Organisasi Bantuan Hukum (OBH)
terakreditasi tersebut.
Namun
demikian, dalam Undang-undang Bantuan Hu-kum posisi Advokat adalah menjadi
bagian dari Pemberi Bantuan Hukum yang dalam hal ini bernaung dalam wadah
Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan dalam kategori sebagai
komponen pemberi Bantuan hukum yang terdiri dari : Advokat, Paralegal, Dosen
dan Mahasiswa Hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 huruf a
Un-dang-Undang Bantuan Hukum.
Untuk
itulah maka diharapkan tidak ada kesalahan penaf-siran menyangkut ruang lingkup
Pemberian Bantuan Hukum antara seorang Advokat dengan Pemberi Bantuan Hukum
dalam konteks Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut. Prinsipnya adalah tanpa
bernaung dalam Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan, seorang
Advokat tetap memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu (miskin).
Perlu
diperhatikan dengan diberlakukannya syarat-syarat menjadi Pemberi Bantuan Hukum
yang diamanatkan Undang-undang Bantuan Hukum Pasal 8, mengakibatkan adanya
sejumlah kelemahan, menjadi peluang timbulnya praktek korupsi dan
penyalahgunaan kewenangan jabatan, yang kemudian bisa mengakses dana bantuan
hukum ini bagi orang yang sebetulnya tidak layak, namun dengan alasan ter-tentu
dipaksakan sebagai lembaga atau Pemberi bantuan hukum, untuk apa?
Sebagai
contoh: Undang-Undang Bantuan Hukum telah menegaskan bahwa Pemberi Bantuan
Hukum harus ber-badan Hukum, namun jika memperhatikan Surat Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Ma-nusia Nomor: M.HH-02.HN.03.03 Tahun 2013 tanggal 31
Mei 2013 tentang Pengumuman Hasil Verifikasi/Akreditasi Pelaksanaan Pemberian
Ban-tuan Hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011-in casu- ternyata
beberapa kantor hukum Advokat dan banyaknya organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang
tidak berbadan hukum telah dinyatakan lulus Verifikasi/Akreditasi sebagai
Pemberi Bantuan hukum, walaupun OBH tersebut belum memiliki pengesahan “Badan
Hukum” dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
Surat
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Ma-nusia diatas ternyata merupakan suatu
penyimpangan atau pelanggaran terhadap Undang-Undang Bantuan Hukum. Seharusnya
seorang Advokat dalam memberikan bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu
secara cuma-cuma ti-dak menerima bayaran sama sekali sebagai perwujudan dari
profesi yang mulia (Officium Nobile) dengan mengacu pada Undang-undang Advokat
Nomor 8 tahun 2003 jo. PP Nomor 83 tahun 2008 jis Kode Etik Advokat.
Seharusnya
2 (dua) minggu terhitung sejak tanggal 1 juni 2013, OBH yang belum memiliki
badan hukum harus telah mengajukan pengesahan Badan Hukum kepada Direk-torat
Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham (Keputusan Kemenkumham). Jangka
waktu 2 bulan yang di-tentukan peraturan Menteri a-quo terhitung sejak tanggal
31 Mei 2013 sampai sekarang belum terlaksana atau terwujud-nya status badan
hukum organisasi Bantuan Hukum (OBH) tersebut, akan menimbulkan suatu
permasalahan hukum ten-tang “tiada kepastian hukum”. Selain itu, Peraturan
Menteri tersebut juga secara hirarki perundang-undangan bertentan-gan dengan
aturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Bantuan Hukum itu sendiri.
Selain
terjadi penyimpangan dan pelanggaran UU ban-tuan Hukum diatas, pelaksanaan
Bantuan hukum yang dilak-sanakan Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan UU Bantuan
Hukum masih sangat minim sosialisasinya, dikarenakan di Pengadilan-pengadilan
para hakim hanya mengijinkan yang dapat beracara di Pengadilan atau penanganan
perkara liti-gasi hanyalah dapat dilakukan seorang Advokat saja, dengan kata
lain komponen-komponen pemberi bantuan hukum lain-nya seperti Paralegal, Dosen
dan Mahasiswa hukum tidak diperkenankan memberikan bantuan hukum sehingga
san-gat menyulitkan organisasi Pemberi Bantuan Hukum dalam mengimplementasikan
UU Bantuan Hukum bagi masyarakat tidak mampu atau termarginalkan di
daerah-daerah terpencil yang selama ini tidak terjangkau pelayanan hukumnya.
Oleh
: Budiman B. Sagala, SH, MH (Advokat Peradin)
Sumber
Artikel Varia Advokat :
http://variaadvokat.com/2014/01/penyimpangan-terhadap-uu-bantuan-hukum
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !