Bab VII - Perjanjian kawin
Bagian
1
Perjanjian
kawin pada umumnya.
139.
Para calon suami-istri, dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan
undang-undang mengenai harta-bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan
tata-susila yang baik atau dengan tata-tertib umum, dan diindahkan pula
ketentuan-ketentuan berikut. (AB. 23; KUHPerd. 119, 132, 153, 180, 888, 1254,
1337.)
140.
Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si
suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai ayah, tidak pula hak-hak yang
oleh undang-undang diberikan kepada yang masih hidup paling lama. (KUHPerd. 105
dst., 110, 298 dst., 300, 307 dst., 311, 345 dst., 355.) Demikian pula
perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami
sebagai kepala persatuan suami-istri; namun hal ini tidak mengurangi wewenang
istri untuk mempersyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi,
baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tak bergerak, di samping
penikmatan penghasilannya pribadi secara bebas. (KUHPerd. 105, 115.) Mereka
juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan
harta-bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar
pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang
diperoleh atas nama istri, atau yang selama perkawinan dari pihak istri jatuh
ke dalam harta-bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh
suaminya tanpa persetujuan si istri. (KUHPerd. 124, 132.)
141.
Para calon suami-istri, dengan mengadakan perjanjian perkawinan, tidak boleh
melepaskan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka atas warisan
keturunan mereka, pun tidak boleh mengatur warisan itu. (KUHPerd. 852 dst.,
1063, 1334.)
142.
Mereka tidak boleh membuat perjanjian, bahwa yang satu mempunyai kewajiban
lebih besar dalam utang-utang daripada bagiannya dalam keuntungan-keuntungan
harta-bersama.
143.
Mereka tidak boleh membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas lalu, bahwa
ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang luar negeri, atau oleh
beberapa adat kebiasaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan
daerah, yang pernah berlaku di Indonesia.
144.
Tidak adanya gabungan harta-bersama tidak berarti tidak adanya keuntungan dan
kerugian bersama, kecuali jika hal ini secara tegas ditiadakan. Penggabungan
keuntungan dan kerugian diatur dalam Bagian 2 bab ini. (KUHPerd. 155 dst., 164;
F. 60 dst.)
145.
Juga dalam hal tidak digunakannya atau dibatasinya gabungan harta-bersama,
boleh ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh si istri setiap tahun dari
hartanya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan anak-anak. (KUHPerd. 104, 193.)
146.
Bila tidak ada perjanjian mengenai hal itu, hasil-hasil dan pendapatan dari
harta istri masuk dalam penguasaan suami. (KUHPerd. 105, 193; Rv. 823j.)
147.
Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan
berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian.
(KUHPerd. 232a.) Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan
dilangsungkan; tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu. (KUHPerd. 119, 149.)
148.
Perubahan-perubahan dalam hal itu, yang sedianya boleh diadakan sebelum
perkawinan dilangsungkan, tidak dapat diadakan selain dengan akta, dalam bentuk
yang sama seperti akta perjanjian yang dulu dibuat. Lagipula tiada perubahan
yang berlaku jika diadakan tanpa kehadiran dan izin orang-orang yang telah
menghadiri dan menyetujui perjanjian kawin itu. (KUHPerd. 1873.)
149.
Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara
apa pun. (KUHPerd. 196 dst., 232a, 237, 1678.)
150.
Jika tidak ada gabungan harta-bersama, maka masuknya barang-barang bergerak,
terkecuali surat-surat pendaftaran pinjaman-pinjaman negara dan efek-efek dan
surat-surat piutang atas nama, tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada
dengan cara mencantumkannya dalam perjanjian kawin, atau dengan pertelaan yang
ditandatangani oleh notaris dan pihak-pihak yang bersangkutan, dan dilekatkan
pada surat asli perjanjian kawin, yang di dalamnya hal itu harus tercantum.
(KUHPerd. 165 dst., 513; F. 60 dst., HCI 50; Bep. Vr. O. 2.)
151.
Anak di bawah umur yang memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan, juga
cakap untuk memberi persetujuan atas segala perjanjian yang boleh ada dalam
perjanjian kawin, asalkan dalam perbuatan perjanjian itu, anak yang masih di
bawah umur itu dibantu oleh orang yang persetujuannya untuk melakukan
perkawinan itu diperlukan. Bila perkawinan itu harus berlangsung dengan izin
tersebut dalam pasal 38 dan pasal 41, maka rencana perjanjian kawin itu harus
dilampirkan pada permohonan izin itu, agar tentang hal itu dapat sekaligus
diambil ketetapan. (KUHPerd. 29, 35, 40 dst., 452, 458, 1447, 1677.)
152.
Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang menyimpang dari
harta-bersama menurut undang-undang, seluruhnya atau sebagian, tidak akan
berlaku bagi pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu
dalam daftar umum, yang harus diselenggarakan di kepaniteraan pada pengadilan
negeri, yang di daerah hukumnya perkawinan itu dilangsungkan, atau kepaniteraan
di mana akta perkawinan itu didaftarkan, jika perkawinan berlangsung di luar
negeri. (KUHPerd. 84, 147, 245, 249; F. 60 dst.)
153.
Segala ketentuan mengenai gabungan harta-bersama selalu berlaku, selama tidak
ada penyimpangan daripadanya, baik yang dibuat secara tertulis, maupun secara
tersirat, dalam perjanjian kawin. Bagaimanapun sifat dan cara gabungan
harta-bersama diperjanjikan, istri atau para ahli warisnya berhak untuk
melepaskan diri daripadanya, dengan cara dan dalam hal-hal seperti yang diatur
dalam bab yang lalu. (Ov. 14; KUHPerd. 119 dst., 132 dst., 138 dst., 1423.)
154.
Perjanjian kawin, demikian pula hibah-hibah yang berkenaan dengan perkawinan,
tidak berlaku bila tidak diikuti oleh perkawinan. (KUHPerd. 58, 168 dst., 176
dst. 1258.
Bagian
2
Gabungan
keuntungan dan kerugian dan gabungan hasil dan pendapatan
155.
Bila para calon suami-istri hanya memperjanjikan, bahwa harus ada gabungan
keuntungan dan kerugian, maka persyaratan ini menutup jalan untuk mengadakan
gabungan harta-bersama secara menyeluruh menurut undang-undang, dan segala
keuntungan yang diperoleh suami-istri selama perkawinan harus dibagi antara
mereka, sedangkan segala kerugian harus dipikul bersama, bila gabungan
harta-bersama bubar. (KUHPerd. 144; 165.)
156.
Masing-masing dari suami-istri mendapat separuh keuntungan dan memikul separuh
kerugian, bila mengenai hal itu dalam perjanjian kawin tidak ada
ketentuan-ketentuan lain. (KUHPerd. 128, 142, 185.)
157.
Yang dianggap sebagai keuntungan pada harta-bersama suami-istri ialah
bertambahnya harta-kekayaan mereka berdua, yang selama perkawinan timbul dari
hasil harta-kekayaan mereka dan pendapatan masing-masing, dari usaha dan
kerajinan masing-masing dan dari penabungan pendapatan yang tidak dihabiskan;
yang dianggap sebagai kerugian ialah berkurangnya harta-benda itu akibat
pengeluaran yang lebih tinggi dari pendapatan. (KUHPerd. 120.)
158.
Apa saja yang diperoleh seorang suami atau istri selama perkawinan dari
warisan, wasiat atau hibah, entah berasal dari keluarga entah dari orang lain, tidak
termasuk keuntungan, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 167. (KUHPerd.
120, 166.)
159.
Barang-barang tetap dan efek-efek yang dibeli selama perkawinan, atas nama
siapa pun juga, dianggap sebagai keuntungan, kecuali bila terbukti sebaliknya.
160.
Naik atau turunnya harga barang salah seorang dari suami-istri itu, tidak
dihitung sebagai keuntungan atau kerugian bersama.
161.
Perbaikan barang-barang tetap, yang terjadi karena pertumbuhan tanah,
perdamparan lumpur, penanganan oleh tukang kayu atau karena hal-hal lain, tidak
dianggap sebagai keuntungan bersama, melainkan hanya menguntungkan pemilik
barang-barang itu. (KUHPerd. 596 dst.)
162.
Kerusakan atau pengurangan karena kebakaran, kebanjiran, hanyut atau lain
sebagainya, tidak termasuk kerugian bersama, tetapi menjadi beban si pemilik
barang yang rusak atau berkurang itu.
163.
Semua utang kedua suami-istri itu bersama-sama, yang dibuat selama perkawinan,
harus dihitung sebagai kerugian bersama. Apa yang dirampas akibat kejahatan
salah seorang dari suami-istri itu, tidak termasuk kerugian bersama itu.
(KUHPerd. 121, 130 dst.)
164.
Perjanjian, bahwa antara suami-istri hanya akan ada gabungan penghasilan dan
pendapatan saja, mengandung arti secara diam-diam bahwa tiada gabungan harta
bersama secara menyeluruh menurut undang-undang dan tiada pula gabungan
keuntungan dan kerugian. (KUHPerd. 165.)
165.
Barang-barang bergerak kepunyaan masing-masing suami-istri sewaktu melakukan perkawinan,
harus dinyatakan dengan tegas dalam akta perjanjian kawin sendiri, atau dalam
surat pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan para pihak yang berjanji,
dan dilekatkan pada akta asli perjanjian kawin, yang di dalamnya harus
tercantum hal itu, baik jika gabungan keuntungan dan kerugian saja yang
dipersyaratkan, maupun jika dipersyaratkan gabungan penghasilan dan pendapatan
seperti yang diuraikan dalam pasal 155 dan 164; tanpa bukti ini, barang-barang
bergerak itu dianggap sebagai keuntungan. (KUHPerd. 150, 513, 1977; F. 60 dst.)
166.
Adanya barang-barang bergerak yang diperoleh masing-masing pihak dari
suami-istri itu dengan pewarisan, hibah wasiat atau hibah biasa selama
perkawinan, harus dapat diperlihatkan dengan surat pertelaan. Bila tidak ada
surat pertelaan barang-barang bergerak yang diperoleh si suami selama
perkawinan, atau bila tidak ada surat yang dapat memperlihatkan hal itu, maka
suami itu tidak berwenang untuk mengambil kembali barang-barang itu sebagai
kepunyaannya. Bila tidak ada surat pertelaan barang-barang bergerak yang
diperoleh si istri selama perkawinan, atau bila tidak ada surat yang
memperlihatkan apa saja barang-barang itu dan berapa harga masing-masing, istri
itu atau para ahliwarisnya berwenang untuk membuktikan adanya dan harga
barang-barang itu dengan saksi-saksi, dan jika perlu, dengan menunjukkan bahwa
umum mengetahuinya. (KUHPerd. 165, 513.)
167.
Yang termasuk penghasilan dan pendapatan ialah segala hibah wasiat, hibah atau
penerimaan uang tahunan, bulanan, mingguan dan sebagainya seperti juga cagak
hidup; dan dengan demikian tercakup kedua jenis gabungan yang dibicarakan dalam
bagian ini. (KUHPerd. 120, 157 dst.)
Bagian
3
Hibah-hibah
antara kedua calon suami-isteri
168.
Dalam mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami-istri, secara timbal-balik
atau secara sepihak, boleh memberikan hibah yang menurut pertimbangan mereka
pantas diberikan, tanpa mengurangi kemungkinan pemotongan hibah itu sejauh
penghibahan itu kiranya akan merugikan mereka yang berhak atas suatu bagian
menurut undang-undang. (KUHPerd. 182, 222, 913 dst., 919 dst., 1666 dst., 1678,
1692.)
169.
Hibah-hibah itu dapat berkenaan dengan barang-barang yang telah ada seperti
yang diperinci dalam aktanya, dapat pula dengan seluruh atau sebagian harta
warisan si penghibah. (KUHPerd. 175, 179, 222, 224, 1334, 1667.)
170.
Pemberian hibah-hibah demikian itu berlaku biarpun disambut tanpa pernyataan
setuju secara tegas oleh pihak yang diberi hibah. (KUHPerd. 151, 402, 452,
1683, 1685,)
171.
Hibah-hibah itu dapat diberikan dengan persyaratan-persyaratan, yang
pelaksanaannya tergantung pada kehendak si penghibah. (KUHPerd. 179, 1256,
1668.)
172.
Hibah yang terdiri dari barang-barang yang telah ada dan tertentu tidak dapat
ditarik kembali, kecuali jika tidak dipenuhi persyaratan-persyaratan hibah itu.
(KUHPerd. 179, 1253-1255, 1688.)
173.
Hibah yang mencakup seluruh atau sebagian warisan si penghibah tidak dapat
ditarik kembali, dengan pengertian, bahwa dia tidak lagi menguasai
barang-barang yang termasuk dalam hibah itu, kecuali uang dalam jumlah-jumlah
kecil untuk upah, atau untuk soal-soal lain menurut pertimbangan hakim. Bila
syarat-syarat tidak dipenuhi, hibah-hibah itu dapat ditarik kembali. (KUHPerd.
173, 178 dst., 1608.)
174.
Hibah yang terdiri dari barang-barang yang telah ada dan terperinci secara
tertentu, dan diberikan antara suami-istri dalam perjanjian kawin, tak dapat
dianggap diberikan dengan syarat, bahwa penerima hibah harus hidup lebih lama
daripada pemberinya, kecuali bila syarat dibuat secara tegas dalam perjanjian.
(KUHPerd. 1666, 1672.)
175.
Tiada hibah seluruh atau sebagian dari warisan si penghibah, yang diberikan
dalam perjanjian kawin, baik yang diberikan oleh yang seorang dari suami-istri
kepada yang lain, maupun yang diberikan secara timbal-balik, akan beralih
kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, bila yang diberi hibah
meninggal sebelum si penghibah. (KUHPerd. 174, 178, 231, 899.)
Bagian
4
Hibah-hibah
yang diberikan kepada kedua calon suami-istri bagian atau kepada anak-anak dari
perkawinan mereka
176.
Baik dalam perjanjian kawin, maupun dengan akta notaris tersendiri, yang dibuat
sebelum pelaksanaan perkawinan, pihak ketiga boleh memberikan hibah, yang menurut
pendapat mereka pantas diberikan kepada kedua calon suami-istri atau kepada
salah seorang dari mereka, dengan tidak mengurangi kemungkinan untuk mengurangi
hibah itu, bila dengan hibah itu orang yang mempunyai hak atas suatu bagian
menurut undang-undang dirugikan. (KUHPerd. 228, 913 dst., 919 dst., 1090, 1334,
1693.)
177.
Bila hibah-hibah itu diberikan dalam perjanjian kawin, maka untuk berlakunya
secara sah tidak perlu ada persetujuan tegas dari yang diberi hibah; sebaliknya
bila hibah itu diberikan dengan akta tersendiri, maka hal itu tidak mempunyai
akibat kecuali setelah ada persetujuan tegas untuk menerima. (KUHPerd. 170,
1666, 1683.)
178.
Suatu hibah yang terdiri dari seluruh atau sebagian warisan si penghibah,
meskipun diberikan hanya untuk kedua suami-istri atau untuk salah seorang dari
mereka, selalu dianggap diberikan untuk anak-anak dan keturunan mereka, bila si
penghibah hidup lebih lama daripada yang diberi hibah, dan bila dalam akta
tidak ditentukan lain. Hibah seperti itu hapus, bila si penghibah hidup lebih
lama daripada anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya yang diberi hibah.
(KUHPerd. 173, 175, 231, 976, 1334, 1679.)
179.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 169, 171, 172, dan 173, berlaku juga pada
hibah-hibah yang dibicarakan dalam bagian ini.
Bab VIII - Gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada
perkawinan kedua atau selanjutnya
180.
Juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada gabungan harta-benda
menyeluruh antara suami-istri, bila dalam perjanjian kawin tidak diadakan
ketentuan lain. (KUHPerd. 119, 139.)
181.
Akan tetapi pada perkawinan kedua atau berikutnya, bila ada anak dan keturunan
dari perkawinan yang sebelumnya, suami atau istri yang baru, oleh percampuran
harta dan utang-utang pada suatu gabungan, tidak boleh memperoleh keuntungan
yang lebih besar daripada jumlah bagian terkecil yang diperoleh seorang anak,
atau bila anak itu telah meninggal lebih dahulu, oleh keturunannya dalam
penggantian ahli waris, dengan ketentuan, bahwa keuntungan ini sekali-kali
tidak boleh melebihi seperempat bagian dari harta-benda suami atau istri yang
kawin lagi itu. Anak-anak dari perkawinan terdahulu atau keturunan mereka, pada
waktu terbukanya warisan dari suami atau istri yang kawin lagi, berhak menuntut
pemotongan atau pengurangan; dan apa yang melebihi bagian yang diperkenankan,
masuk ke dalam warisan itu. (KUHPerd. 182, 185, 231, 842, 902, 913 dst., 920,
929, 1060.)
182.
Suami atau istri, yang mempunyai anak-anak dari perkawinan yang terdahulu dan
melakukan perkawinan berikutnya, tidak boleh menyediakan kepada suami atau
istri yang baru, dengan perjanjian kawin pun, keuntungan-keuntungan yang lebih
daripada yang tersebut dalam pasal sebelum ini. (KUHPerd. 168, 902.)
183.
Suami-istri tidak diperkenankan dengan cara yang berliku-liku saling memberi
hibah lebih daripada yang diperkenankan dalam ketentuan-ketentuan di atas.
Semua hibah yang diberikan dengan dalih yang dikarang-karang, atau diberikan
kepada orang-orang perantara, adalah batal. (KUHPerd. 911, 1057 dst.)
184.
Yang dimaksud dengan hibah yang diberikan kepada perantara ialah hibah yang
diberikan oleh seorang suami atau istri kepada semua anak atau salah seorang
anak dari perkawinan terdahulu istri atau suaminya, demikian pula hibah yang
diberikan kepada keluarga sedarah penghibah dan pada waktu penghibahan
diperkirakan akan menjadi warisan istri atau suami penghibah itu, meskipun
suami atau istri penghibah ini mungkin tidak hidup lebih lama dari penerima
hibah. (KUHPerd. 911, 1916-1?, 1921.)
184a.
(s.d.t. dg. S. 1923-31.) Pasal-pasal 181-184, dalam hal suami-istri yang kawin
kembali satu sama lain, tidak berlaku bagi anak-anak atau keturunan dari
perkawinan mereka yang terdahulu.
185.
Juga jika ada anak-anak dari perkawinan yang dulu, maka keuntungan dan kerugian
harus dibagi rata antara suami dan istri, kecuali bila peraturan tentang itu
ditiadakan atau diubah oleh perjanjian kawin. (KUHPerd. 128, 156, 164.)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !