AYAT-AYAT WARIS
ALLAH
SWT berfirman
"Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu,
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)
"Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)
"Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)
A. Penjelasan
Allah
SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat
an-Nisa'-- menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak
untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan
merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan
orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan
keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara
"tertentu", dan kapan pula ia menerimanya secara 'ashabah.
Perlu
kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya
berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris
secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal
ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris,
sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.
Allah
Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan
dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak
setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia
menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia,
meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku
kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati
orang-orang yang lemah.
Imam
Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan
salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh
karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya
menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu
Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah
Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal,
dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua
orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima),
namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan
tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih
jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu
ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah
faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini.
Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa
kini) mengabaikan dan melecehkannya."1
Perlu
kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para
ulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga
ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat
jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan
hukum dan syariat-Nya.
Di
antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang
berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?
Di
dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris
bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang
mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman
Allah berikut:
"Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan.
" (an-Nisa': 7)
"...
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"...
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam
Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah
ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari
ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.
Pada
ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat
pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya
yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka
lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.
Telah
masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum
muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa
persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin
dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum
Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak
mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama
yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya,
dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka
setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum
pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang
disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun
dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk
kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan
anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta
dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara
penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris
secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki
ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit,
maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah
tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain
Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan
dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail
menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai
istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya
terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan
176).
Masih
tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang
bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian
kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di
samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun
materiil?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat
yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
- Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
- Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
- Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah
beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan
pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau
saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan
hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki
tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka
dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula.
Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali
lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum
wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum
wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas
bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak
dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris
sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak
berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak
untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan
nafkah.
Syariat
Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski
sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya
(keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun
wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang
berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam
hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya:
"...
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk
lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh
kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih
jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum
laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang
meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan.
Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka,
menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak
perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila
anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia
berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya.
Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu
sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang
tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung
jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun
anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah
yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu
sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta
(satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon
suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk
membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang
banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang
berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan.
Jadi, harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan
anak laki-laki habis.
Dalam
keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih
banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah
wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki
dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.
B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam
Sebelum
Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima
warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih
bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa
Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan
warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah
menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang
melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan,
sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat
jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum
wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan
anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka.
Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak
untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh
kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa
pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam
syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.
Ketika
turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan
bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat
berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus
(mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita
dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama
mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu
Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu
Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan
diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris
kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri--
sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan
nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi
seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan
anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan
warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul
senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum
kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja
Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar
berkenan untuk mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah:
'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang
masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan
haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal
mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang
melawan musuh?'"
Inilah
salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita;
Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam
memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak
seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban
yang telah Allah tetapkan bagian warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini
masih saja kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh
orang-orang yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi
kaum wanita dalam hal hak waris, karena hanya memberikan separo dari hak kaum
laki-laki.
Anggapan
mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanita tentang hak yang
mereka terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkan kezaliman yang menimpa
kaum wanita dengan cara menyamakan hak kaum wanita dengan hak kaum laki-laki
dalam hal penerimaan warisan.
Mereka
yang memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum wanita agar mereka
menjadi pembangkang dan pemberontak dengan menolak ajaran dan aturan hukum
dalam syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan
hak penerimaan warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang
sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka yang
berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri
sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah. Subhanallah!
Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk bekerja demi menghidupi
diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di tempat hiburan,
bar, kelab malam, dan sebagainya.
Corak
pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat yang
banyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur
seperti itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada
timbangan yang adil. Budaya mereka memandang kaum wanita tidak lebih sebagai
pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada kaum
wanita, dan mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali
dengan seizin kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka
mengharuskan kaum wanita bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata
demikian, mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan membekukan hak
wanita.
C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak
riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad
bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang
putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad
bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi
paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad,
tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah
saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka
turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
Rasulullah
saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan
memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad
kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian
seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam
riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa
Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara
perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan
direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman)
lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai
jawaban persoalan itu.
Masih
ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris
ini. Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan,
artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah
disebabkan pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan.
D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris
Pertama:
Firman
Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
- Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
- Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
- Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
- Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
Kedua:
Hukum
bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang
ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
- Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
- Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Ketiga:
Utang
orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya)
"sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang
orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu
ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian
barulah melaksanakan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah
yang diamalkan Rasulullah saw..
Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan
Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang
meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah
mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena
utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang utang, baik
ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan
tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang
meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan
wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan
tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak
melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli
waris), maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya.
Keempat:
Firman
Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan
ayat ini dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling
berhak untuk mengatur pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada
manusia, siapa pun orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena
bagaimanapun bentuk usaha manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu
melaksanakannya secara sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan
pembagian yang adil seperti yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia
tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau
lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci
Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya
pasti adil. Bila demikian, siapakah yang dapat membuat aturan dan undang-undang
yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan
kemanusiaan selain Allah?
Kelima:
Firman
Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat
tersebut menjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau
istri masing-masing mempunyai dua cara pembagian.
Bagian
suami:
- Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
- Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
Bagian
istri:
- Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Keenam:
Hukum
yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.
Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris).
"
Yang
dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah
saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi,
tidak mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara laki-laki atau saudara
perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh
ulama.
Adapun
yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam
firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang
pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat
yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian,
sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta
peninggalan dan dibagi secara rata.
Sementara
itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika
sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia
mendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam
ayat ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat
akhir surat an-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara
itu, karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat
--dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian
keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat
dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12)
adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat
an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.
Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
A.
Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu
atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah
seperenam.
B.Jika
yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan
dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya
[tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama
besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian
saudara perempuan.
Makna Kalaalah
Pengertian
kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau
dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil
dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam
kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang
kekuatannya'.
Ulama
sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai
ayah dan tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila
pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan,
dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah
orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak. "
Ketujuh:
Firman
Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah
dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat
tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata
mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif
mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat
untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang
dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang
padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat
menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib dilaksanakan.
Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah
Firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan
tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.
A. Apabila
seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan
ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila
ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.
B. Apabila
pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan
tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga
dibagi secara rata.
C. Apabila
pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung
perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali
bagian saudara perempuan.
D. Apabila
seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau
anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung
laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi
secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika
ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang
sekandun
Sumber: (http://media.isnet.org/islam/Waris)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !