PEDOMAN
PERILAKU HAKIM
A.
PEMBUKAAN
Bahwa keadilan merupakan kebutuhan
pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial dalam
bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan
serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan
serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegak
martabat dan integritas Negara.
Hakim sebagai figur sentral dalam
proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara
kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan
bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan
bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara.
Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Es amenunjukkan kewajiban menegakkan keadilan yang
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesame manusia dan vertikal
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap hakim yang dilambangkan dalam
kartika, cakra, candra, saridan tirtamerupakan cerminan perilaku Hakim harus
senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Maha Esa, adil, bijaksana berwibawa,
berbudi luhur dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi
prinsipprinsip pedoman Hakim dalam bertingkah laku, bemakna pengalaman tingkah
laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong Hakim
untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama
masing-masing. Seiring dengan keluhuran tugas dan luasnya kewenangan dalam
menegakkan hukum dan keadilan, sering muncul tantangan dan godaan bagi para
Hakim. Untuk itu,
Pedoman Perilaku Hakim merupakan konsekuensi
dari kewenangan yang melekat pada jabatan sebagai Hakim yang berbeda dengan
warga masyarakat biasa.
Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan
panduan keutamaan moral bagi Hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya
maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.
Hakim sebagai insan yang memiliki
kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat
dengan norma-norma etika dan adat kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.
Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak,
diperlukan dukungan sosial yang bertanggung jawab. Selain itu diperlukan pula
pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum
maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab
masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan,
termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun
demikian, meskipun kondisi-kondisi diatas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut
tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada
kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga
hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.
Atas dasar kesadaran dan tanggung
jawab tersebut, maka disusunlah Pedoman Perilaku Hakim ini dengan memperhatikan
masukan dari Hakim di berbagai tingkatan dan Iingkungan peradilan, kalangan praktisi
hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Pedoman
Perilaku Hakim
ini merupakan hasil perenungan ulang
atas pedoman yang pertama kali dicetusksan dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI
tahun 1966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan
kembali dalam Munas XIII IKAHI tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti
dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh)
prinsip Pedoman Perilaku Hakim. Proses penyusunan pedoman ini didahului pula
dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap
prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang
ditetapkan di berbagai negara, antara lain Bangalore Principles.
Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan
penjabaran dari ke 10 (sepuluh) prinsip pedoman yang meliputi
kewajiban-kewajiban untuk : berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku
arif dan bijakasana, bersikap mandiri,
berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin
tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional.
B.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. "Hakim" adalah seluruh
Hakim termasuk Hakim ad hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan semua
tingkatan peradilan.
2. "Pegawai Pengadilan"
adalah seluruh pegawai yang bekerja di badan-badan peradilan.
3. "Pihak Berwenang" adalah
pemangku jabatan atau tugas yang bertanggung jawab melakukan proses dan
penindakan atas pelanggaran.
4. "Penuntut" adalah Umum
dan Oditur Militer.
C. PENGATURAN
1. BERPERILAKU ADIL
Adil pada hakekatnya bermakna
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada
suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan
demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan
perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equalityand fairness) terhadap setiap
orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang
peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar
harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.
Penerapan:
1.1.
Umum
1.1.1. Hakim tidak boleh memberikan
kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk
Penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi Hakim
tersebut (fairness).
1.1.2. Dalam melaksanakan tugas
peradilan, Hakim tidak boleh, baik dalam perkataan, sikap, atau tindakan
menunjukan rasa tidak suka, keberpihakan, prasangka, membedabedakan atas dasar
perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau
mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan
dengan pencari keadilan atau orang-orang yang sedang berhubungan dengan
pengadilan.
1.1.3. Hakim harus mendorong Pegawai
Pengadilan, Advokat dan Penuntut serta pihak lainnya yang tunduk pada arahan dan pengawasan
Hakim untuk menerapkan standar perilaku yang sama dengan Hakim sebagaimana
disebutkan dalam butir 1.1.2.
1.1.4. Hakim tidak boleh mengeluarkan
perkataan, bersikap atau melakukan tindakan, yang dapat menimbulkan kesan yang
beralasan dapat diartikan sebagai keberpihakan, tidak atau kurang memberikan
kesempatan yang sama, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau
kuasanya, atau saksi-saksi.
1.1.5. Hakim harus memberi keadilan kepada
semua pihak dan tidak beritikad sematamata untuk menghukum.
1.2. Mendengar Kedua Belah Pihak
1.2.1. Hakim harus memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau
kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.
1.2.2. Hakim tidak boleh berkomunikasi
dengan pihak yang berperkara diluar persidangan, kecuali dilakukan di dalam
lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang
dilakukan secara terbuka, diketahui pihakpihak yang berperkara, tidak melanggar
prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.
2.
BERPERILAKU JUJUR
Kejujuran pada hakekatnya bermakna
dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah
salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan
kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud
sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun
diluar persidangan.
Penerapan:
2.1.
Umum
2.1.1. Hakim harus berperilaku jujur
(fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan
tercela.
2.1.1. Hakim Harus memastikan bahwa
sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun diluar pengadilan,
selau menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta
para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan
lembaga peradilan (impartiality)
2.2. Pemberian Hadiah. Hakim tidak
boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang
tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji,
hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas
dari:
1.
Advokat
2.
Penuntut
3.
Pihak yang kemungkinan kuat akan diadili
4. Pihak yang memiliki kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili
atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara
wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk
mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah
pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak
akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan
tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman
dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar
keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya
tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut
termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang
diatur dalam Undangundang Tindak Pidana Korupsi.
2.3.
Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan
2.3.1. Hakim wajib melaporkan secara
tertulis pemberian yang termasuk gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.
2.3.2. Hakim wajib menyerahkan laporan
kekayaan sebelum dan setelah menjabat tanpa ditunda-tunda, bersedia diperiksa
kekayaan segera setelah memangku jabatan dan setelah menjabat, serta wajib
melakukan segala upaya untuk memastikan kewajiban tersebut dapat dijalankan
secara baik, apabila diperlukan oleh pihak yang berwenang, Hakim harus bersedia
diperiksa kekayaannya pada saat atau selama memangku jabatan.
3.
BERPERILAKU ARIF DAN BIJAKSANA
Arif dan bijaksana pada hakekatnya
bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik
norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaankebiasaan maupun kesusilaan
dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu
memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana
mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa
yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
Penerapan:
3.1.
Pemberian Pendapat atau Keterangan
3.1.1. Hakim tidak boleh memberi
keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara diluar proses
persidangan pengadilan, baik terhadap perkara Hakim tidak boleh memberi
keterangan atau pendapat mengenai yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara
yang lain.
3.1.2. Hakim yang diberikan tugas
resmi oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur
beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak berhubungan dengan
substansi perkara dari suatu perkara.
3.1.3. Hakim dapat memberikan
keterangan atau menulis artikel dalam surat kabar atau terbitan berkala dan
bentuk-bentuk kontribusi lainnya yang dimaksudkan untuk menginformasikan kepada
masyarakat mengenai hukum atau administrasi peradilan secara umum yang tidak
berhubungan dengan masalah substansi perkara tertentu.
3.1.4. Hakim dalam keadaan apapun
tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik dan pembenaran
secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum
maupun yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun.
3.1.5. Hakim tidak boleh memberi
keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas
suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah
yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi
putusan Hakim dalam perkara lain.
3.2.
Aktivitas Keilmuan, Sosial Kemasyarakatan
3.2.1. Hakim dapat menulis, memberi
kuliah, mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya
pencerahan mengenai hukum, sistem hukum, administrasi peradilan dan non-hukum,
selama kegiatan-kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi
Hakim dalam membahas suatu perkara.
3.2.2. Hakim boleh menjabat sebagai
pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum,
sistem hukum, administrasi peradilan lembaga pendidikan dan sosial
kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian Hakim.
3.2.3. Hakim tidak boleh menjadi
pengurus atau anggota dari partai politik atau secara terbuka menyatakan
dukungan terhadap salah satu partai politik atau terlibat dalam kegiatan yang
dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa Hakim tersebut mendukung suatu
partai politik
4.
BERSIKAP MANDIRI
Mandiri pada hakekatnya bermakna mampu
bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun
dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku
Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran
sesuai tuntutan moral dam ketentuan hukum yang berlaku.
Penerapan:
Hakim harus menjalankan fungsi
peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau
bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun.
5.
BERINTEGRITAS TINGGI
Integritas tinggi pada hakekatnya
bermakna mempunyai kepribadian utuh tak tergoyahkan, yang terwujud pada sikap
setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas
tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan
segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu berusaha melakukan tugas dengan
segala cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.
Penerapan:
5.1.
Umum
5.1.1. Hakim tidak boleh mengadili
suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan
pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan
(reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan
5.1.2. Hakim harus menghindari
hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan
pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.
5.1.3. Hakim harus membatasi hubungan
yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering
berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat.
5.1.4. Pimpinan Pengadilan
diperbolehkan menjalin hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan
legislatif dan dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat hukum
selama hal tersebut tidak berhubungan langsung dengan suatu perkara yang sedang
disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke Pengadilan.
5.2.
Konflik Kepentingan
5.2.1. Hubungan Pribadi dan
Kekeluargaan.
5.2.1.1. Hakim dilarang mengadili
suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, Ketua
Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani
perkara tersebut.
5.2.1.2. Hakim dilarang mengadili
suatu perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan
pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara tersebut.
5.2.2.
Hubungan Pekerjaan.
5.2.2.1. Hakim dilarang mengadili
suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau
Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang
lebih rendah.
5.2.2.2. Hakim dilarang mengadili
suatu perkara apabila pernah menangani halhal yang berhubungan dengan perkara
atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi
lain sebelum menjadi Hakim.
5.2.2.3. Hakim dilarang menggunakan
wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota
keluarga atau siapapun juga.
5.2.2.4. Hakim dilarang mengijinkan
seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada
dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam
melaksanakan tugas-tugas peradilan.
5.2.2.5. Hakim dilarang mengadili
suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat
atau partai politik, apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam
organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.
5.2.3.
Hubungan Finansial.
5.2.3.1. Hakim harus mengetahui urusan
keuangan pribadinya maupun bebanbeban keuangan lainnya dan harus berupaya
secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya.
5.2.3.2. Hakim tidak boleh menggunakan
wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan jabatan sebagai Hakim
untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam
hubungan finansial.
5.2.3.3. Hakim tidak boleh mengijinkan
pihak lain yang akan menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam
posisi khusus yang dapat memperoleh
keuntungan finansial.
5.2.4. Prasangka dan Pengetahuan atas
Fakta. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki
prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau
bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan.
5.3.
Tata Cara Pengunduran Diri
5.3.1. Hakim yang memiliki konflik
kepentingan sebagaimana diatur dalam butir 5.2. wajib mengundurkan diri dari
memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan
diri harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin
timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak
dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.
5.3.2. Apabila muncul keragu-raguan
bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri memeriksa dan mengadili suatu perkara
lebih baik memilih mengundurkan diri.
6.
BERTANGGUNG JAWAB
Bertanggung jawab pada hakekatnya
bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan semua tugas dan wewenang
sebaik mungkin serta bersedia menanggung segala akibat atas pelaksanaan tugas
dan wewenang tersebut.Rasa tanggung jawab akan mendorong terbntuknya pribadi
yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, penuh pengabdian, serta tidak menyalahgunakan
profesi yang diamanatkan.
Penerapan:
6.1.
Penggunaan Predikat Jabatan.
Hakim tidak boleh menyalahgunakan
jabatan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.
6.2. Penggunaan Informasi Peradilan. Hakim
tidak boleh mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang
didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungannya
dengan tugas-tugas peradilan.
7.
MENJUNJUNG TINGGI HARGA DIRI
Harga diri pada hakekatnya bermakna
bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus
dipertahankan dan dijunjung tinggi. Prinsip menjunjung tinggi harga diri,
khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh,
sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat
sebagai aparatur Peradilan.
Penerapan:
7.1.
Umum
Hakim harus menjaga kewibawaan serta
martabat lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
7.2. Aktivitas Bisnis Hakim dilarang
terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan
posisi sebagai Hakim.
7.3. Aktivitas lain Hakim dilarang
menjadi Advokat, atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara.
7.3.1. Hakim dilarang bekerja dan
menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat, kecuali jika:
- Hakim tersebut menjadi pihak di
persidangan; atau
- Memberikan nasihat hukum cuma-cuma
untuk anggota keluarga atau teman yang tengah mengahadapi masalah hukum.
7.3.2. Hakim dilarang bertindak
sebagai arbiter atau mediator salam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam
jabatan yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan dalam undang-undang
atau peraturan lain.
7.3.3. Hakim dilarang menjabat sebagai
eksekutor, administraror atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk urursan
pribadi anggota keluarga Hakim tersebut, dan hanya diperbolehkan jikan kegiatan
tersebut secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi tugasnya sebagai
Hakim.
7.3.4. Hakim dilarang melakukan
rangkap jabatan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.4.
Aktivitas Masa Pensiun
Mantan Hakim sangat dianjurkan dan
sedapat mungkin tidak menjalankan pekerjaan sebagai Advokat yang berpraktek di
Pengadilan terutama di lingkungan peradian tempat yang bersangkutan pernah
menjabat, sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun setelah memasuki masa pensiun
atau berhenti sebagai Hakim.
8.
BERDISIPLIN TINGGI
Disiplin pada hakekatnya bermakna
ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan
luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin
tinggi akan mendorong tebentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksankan
tugas, iklas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam
lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.
Penerapan:
8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan
mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan
hokum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari
keadilan
8.2. Hakim harus menghormati hak-hak
para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara
secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
8.3. Hakim harus membantu para pihak
dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8.4. Ketua Pengadilan atau Hakim yang
ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada
Majelis Hakim secara adil dan merata,
serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan.
9.
BERPERILAKU RENDAH HATI
Rendah hati pada hakekatnya bermakna
kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan
terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong
terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai
pendapat orang lain, menumbuh kembangan sikap tenggang rasa, seta mewujudkan
kesederhanaan, penuh rasa syukur dan iklas di dalam mengemban tugas.
Penerapan:
9.1.
Pengabdian
Hakim harus melaksanakan pekerjaan
sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai
mata pencaharian dalam lapangan pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat
penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.
9.2.
Popularitas
Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah
laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan
senjungan dari siapapun juga.
10.BERSIKAP
PROFESIONAL
Propesional pada hakekatnya bermakna suatu
sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang
dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar
pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.
Sikap profesional akan mendorong
terbentuknya pribadi yang sentiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan,
serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai
setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Penerapan:
10.1. Hakim harus mengambil
langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.
10.2. Hakim harus secara tekun
melaksanakan tanggung jawab administrative dan bekerjasama dengan para Hakim
dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan
D.
PENUTUP
1. Hakim yang mengetahui atau menerima
informasi yang dapat dipercaya bahwa seorang Hakim lain telah melakukan
pelanggaran terhadap peraturan ini harus melakukan upaya yang layak untuk
menghindari hal tersebut berulang atau dapat menimbulkan perlakuan yang tidak
adil bagi para pihak, termasuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang
dalam pengawasan Hakim. Membiarkan pelanggaran, adalah bertentangan dengan
semangat membela korps Hakim dan lembaga peradilan pada umumnya. Pelanggaran
yang dilakukan oleh individuindividu Hakim pada akhirnya akan melahirkan
ketidakpercayaan masyarakat pada seluruh
Hakim
dan lembaga peradilan.
2. Setiap Pimpinan Pengadilan harus
berupaya sungguh-sungguh untuk memastikan agar Hakim di dalam lingkungannya
mematuhi Pedoman Perilaku Hakim ini.
3. Pelanggaran terhadap Pedoman ini
dapat diberikan sanksi. Dalam menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus
dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan, dan
akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan atau pihak lain.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 22 Desember 2006
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
TTD
BAGIR MANAN
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !